Tanggapi Surat Telegram Polri, KontraS: Ketidak Puasan Publik Pada Polisi Menurun

- 6 April 2021, 17:30 WIB
Surat Telegram Kapolri.
Surat Telegram Kapolri. /

MEDIA JABODETABEK - Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) telah mengeluarkan surat Telegram pada Senin 5 April 2021.

Surat Telegram Nomor: ST/750/Aiv/HUM.3.4.5/2021 berisi pesan melarang media untuk menyiarkan arogansi petugas Kepolisian.

Isi surat tersebut mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak, salah satunya Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Baca Juga: Menangi Kontrak Senilai 22 Miliar USD, Microsoft Kembangkan Teknologi Hololens Untuk Militer AS

Menurut Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Rivanlee Anandar, adanya peraturan Polri tersebut disinyalir karena turunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja polisi.

"Tingkat kepuasan publik atas polisi menurun, namun cara mengembalikannya bukan dengan menutup akses dari media," ujarnya, saat dihubungi Mediajabodetabek.com, Selasa 6 April 2021.

Baca Juga: Baru Sadar Telah Ditipu Selama Dua Tahun, Ternyata Penipu Mantan Pemain Timnas

Rivanlee menambahkan, seharusnya tindakan yang dilakukan oleh Polri bukan menutup akses untuk jurnalis, akan tetapi dengan melakukan pembenanhan di institusi secara struktural sampai ke lapangan.

"Cara ini justru akan membuat publik semakin tidak puas mengingat polisi semakin sentralistik dalam kerja-kerjanya," ucapnya.

Baca Juga: Pesan Telegram Polri Larang Penyiaran Arogansi Aparat, Para Jurnalis Angkat Bicara

Menurut Rivanlee, selama ini KontraS sudah mencatat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum Polisi, khususnya saat penanganan aksi massa.

"Banyak catatan dari penanganan aksi massa yang brutal, publik mengharapkan polisi yang humanis, bukan yang suka kekerasan dengan dalih ketegasan," tambahnya.

Ia juga menyebutkan, dengan adanya surat Telegram yang diterbitkan tersebut, akan memberikan dampak terhadap kebebsan pers.

Baca Juga: Terkait Pesan Telegram Kapolri, KontraS: Jelas Mengganggu Kinerja Media

"Jukrah dari ST tersebut berbahaya bagi kebebasan pers karena publik diminta percaya pada narasi tunggal negara, sementara polisi minim evaluasi dan audit atas tindak tanduknya, baik untuk kegiatan luring maupun daring," sesalnya.

Diketahui, KontraS telah mencatat ada delapan jenis tindak kekerasan terhadap jurnalis oleh beberapa pihak, tak terkecuali aparat kepolisian selama periode tahun 2021.

"Kekerasan dilakuan oleh pihak swasta (3 Peristiwa), Pemerintah (4 Peristiwa) dan Aparat Kepolisian 1 Peristiwa. Kekerasan dialami para jurnalis terkait pemberitaan 4, Peliputan 3, 1 investigasi," paparnya. ***

Editor: Ricky Setiawan


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini