Akademisi dan Civil Society Setuju Kasus Pembunuhan Munir Dikategorikan Sebagai Pelanggaran HAM Berat

- 7 September 2021, 18:42 WIB
Webinar 17 Tahun Munir
Webinar 17 Tahun Munir /Gilang Andaruseto Prabowo/Tangkapan Layar

MEDIA JABODETABEK - Organisasi civil society mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar menempatkan kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.

Munir yang saat itu merupakan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dibunuh pada tanggal 7 September 2004 dengan racun arsenik saat di dalam pesawat saat melakukan penerbangan menuju Amsterdam, Belanda.

Kali ini, kasus tersebut memasuki usianya yang ke-17 tahun. Namun, hingga tahun 2021 negara belum melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai pembunuhan aktivis HAM itu, melainkan baru menindak aktor lapangannya, salah satunya adalah Pilot Pesawat Garuda Pollycarpus Priyanto.

Baca Juga: Masjid Ahmadiyah Dirusak oleh Ratusan Orang di Kalimantan Barat, Polisi Tetapkan 9 Tersangka

Menanggapi perihal itu, Akademisi Hukum Internasional Universitas Parahyangan Dr. Liona Nanang Supriatna menyatakan, kasus pembunuhan Munir sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dan tidak memiliki status kadaluarsa.

"Kasus Munir merupakan extra judicial killing dan tidak mengenal kadaluarsa. Pengadilannya tidak sesuai kaidah peradilan internasional. Bahkan kasus Munir masuk dalam kategori extraordinary crime dan bisa dibawa ke kasus peradilan HAM," ujarnya dalam sebuah webinar Amnesty International Indonesia pada Selasa, 7 September 2021.

Liona beranggapan, kasus yang menimpa Munir juga berdampak buruk bagi kelangsungan HAM di Indonesia. Menurutnya, kasus pembunuhan tersebut menyangkut hak orang banyak.

Baca Juga: Bocoran Samsung Galaxy Tab S8 Ultra yang akan Bersaing dengan Apple iPad Pro 2021, Punya Baterai 11.500 mAh!

"Maka harus masuk ke dalam extraordinary crime. Pembunuhannya berdampak bagi seluruh bangsa, tidak hanya untuk keluarganya. Ini bukan ordinary crime," ucapnya menambahkan.

Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Jantera Bivitri Susanti mengatakan, kasus pembunuhan Munir harus tuntas. Menurutnya, dapak buruk dapat muncul di lingkaran para pegiat HAM lantaran dianggap mengganggu.

"Tak hanya untuk korban, kasus Munir harus tuntas, ini bisa berdamak buat semua, siapa saja yang dianggap mengganggu dapat bernasib sama," tuturnya.

Baca Juga: Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji'un, Koes Hendratmo Presenter Berpacu Dalam Melodi Tutup Usia pada 78 Tahun

Bivitri mengusung agar Komnas HAM dapat menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai bentuk pelanggaran HAM berat. Hal itu diperkuat dengan adanya pasal 80 KUHP yang menyatakan penghentian daluarsa sebuah tindak kriminal.

"Kami mengusung Komnas HAM agar kasus Munir menjadi pelanggaran HAM berat. Ada pasal 80 KUHP yang menyebabkan agar kasus Munir tidak kadaluarsa. Namun, pemerintah saat ini bersikap unwillingness," tegasnya.

Pasal 80 KUHP yang dimaksud berbunyi memiliki dua ayat yang menyatakan dapat menghentikan daluarsa sebuah kasus, namun dapat kembali ditindaklanjuti dengan beberapa alasan. Berikut ketentuannya:

Baca Juga: WhatsApp Rilis Fitur Baru Migrasi dari iOS ke Android, Telegram Beri Sindiran Menohok

Ayat 1: "Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum". Ayat 2: "Sesudah dihentikan, dimulai tanggang daluwarsa baru".

Ia mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar bersikap willingness dalam menanggapi kasus Munir. Terlebih karena adanya anggapan jika aktor di balik pembunuhan itu masih ada keterikatan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan hingga saat ini yang terkait masih ada dalam pemerintahan.

"Saya mendorong Jokowi agar bersikap willingness terkait kasus Munir. Dalam laporan mengenai kasus Munir, Kepala BIN saat itu juga terlibat cukup aktif dalam pemerintahan, maka ada pelanggengan impunitas," katanya.

Baca Juga: Berikut Bocoran Spesifikasi Realme GT Neo2: Prosesor Snapdragon hingga Fast Charging 65W

Wakil Koordinator KontraS Arif Nurfikri menjelaskan, aktivitas yang dilakukan oleh Munir bersinggunngan dengan para pelaku pembunuhan. Ia menyebutkan, Tim Pencari Fakta (TPF) telah menyatakan jika kasus Munir masuk ke dalam operasi intelijen pada tahun 2002.

"Aktivitasnya dianggap membahayakan bagi aktor-aktor negara, walaupun beberapa pelaku sudah diadili, namun hanya sebagai pelaku lapangan saja. Negara juga belum menyampaikan kasus pembunuhan Munir ke publik.

Bahkan, Arif menjelaskan jika adanya indikasi terkait konspirasi negara di balik pembunuhan Munir. Ia juga menegaskan agar Komnas HAM memasukan kasus ini sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Baca Juga: Catat ! ini Kawasan Ganjil Genap di Jakarta Selama PPKM level 3 Sampai 13 September 2021

"Ada relasi timpang antara Munir dengan negara beserta sumber dayanya," sebutnya.

Tak hanya itu, ia kembali menegaskan bahwa peristiwa itu masuk dalam kategori pembunuhan berencana dan masuk ke dalam "operasi non-militer" serta mengacu pada pengadilan HAM.

Diketahui sebelumnya, Munir telah menangani kasus pelanggaran HAM sejak tahun 1992 hingga 1999, di antaranya berkaitan dengan pemerintahan kala itu dan sejumlah aktor besar. Berikut daftarnya:

Baca Juga: Arti dan Lirik Lagu Janji Putih dari Doddie Latuharhary, Beta Janji Beta Jaga Ale Untuk Selamanya

Timor Timur (1992-1994), Nipah Madura (1993), Marsinah (1994), subversi dan perkara hukum Administrative Court (PTUN) terkait pemecatan Sri Bintang Pamungkas (1997), kasus subversi (1997), subversi (1996), perburuhan PT Chief Samsung (1995), dan pemogokan di Sidoarjo (1993).

Penghinaan terhadap pemerintah (1994), tuduhan terhadap seorang sopir bernama Muhadi atas penembakan terhadap anggota kepolisian (1994), penghilangan 24 orang aktivis dan mahasiswa (1997-1998), Tanjung Priok 1984 (1998), Tragedi Semanggi I dan II (1998-1999), anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur (1999), penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku, dan kasus-kasus di Aceh serta Papua.***

Editor: Eria Winda Wahdania


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

x