Saat Korban Tragedi 1965 Tanggapi Supersemar

- 11 Maret 2021, 20:57 WIB
Soekarno dan Soeharto
Soekarno dan Soeharto /Pikiran Rakyat/

MEDIA JABODETABEK - 11 Maret 2021 ini Indonesia memasuki sesi refleksi 54 tahun Supersemar yang oleh rezim Orde Baru (Orba) dianggapnya sebagai penyerahan kekuasaan.

Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar ini diterbitkan pada tanggal 11 Maret 1966, di mana saat itu Presiden Soekarno dipaksa menandatangani surat tersebut oleh utusan yang dikirim Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Soeharto di Istana Bogor. Saat itu ada Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat.

Baca Juga: 153.985 Tinggalkan Jakarta saat Libur Isra Mi'raj

Hal ini masih menjadi kontroversi, perdebatannya juga masih sering dipercikkan di tiap halaman buku sejarah. Seakan menjadi pertarungan penguasa saat itu terkait sejarah yang diukir karena berhasil meraih kemenangan. Dari situ lah Soeharto yang tidak memiliki kewenangan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah itu, Soeharto melanjutkan genosida dan penangkapan siapa saja yang ia anggap PKI. Bahkan kalangan nasionalis kiri, agamis, dan para menteri pembantu Presiden Soekarno turut dibabat habis hingga akhir hayat Presiden Soekarno di Juni tahun 1970.

Sebagian pihak menganggap Supersemar sebagai bagian dari kudeta merangkak Soeharto dan militer terhadap pemerintahan Presiden Soekarno.

Baca Juga: PP BBVSI Angkat Bicara Soal Perubahan Status Jenis Kelamin Aprilia Manganang

Salah satunya adalah korban tragedi 1965 Bedjo Untung menganggap Supersemar versi AD sebagai awal mula dari terjadinya malapetaka. Ia menyebut Presiden Soekarno dipaksa untuk menandatangani surat perintah tersebut oleh tiga orang perwira yang diutus Soeharto.

"Supersemar ditandatangani oleh Presiden Soekarno atas 'todongan senjata' militer, terlebih sudah dipersiapkan oleh militer dengan gunakan logo Mabes TNI-AD," sebutnya saat dihubungi Media Jabodetabek lewat WhatsApp, Kamis 11 Maret 2021.

Disamping itu, sambung Bedjo, Supersemar bukanlah penyerahan mandat kekuasaan negara. Ia mengatakan, semua skenario ini merupakan bagian dari rancangan Soeharto.

Baca Juga: Rayakan Ulang Tahun, Suga BTS Sumbang 1.2 M

"Supersemar bukanlah transfer of authority dari Soekarno ke Soeharto. Namun, dia memanipulasi isi surat perintah" katanya. "Kemudian surat tersebut dikukuhkan dalam Tap MPRS, Soekarno dilarang mengikuti kegiatan politik. Itu artinya Soekarno tumbang dan Soeharto menjadi pejabat Presiden," imbuhnya.

Bedjo juga mengulas, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri (Menlu) Subandrio telah menyarankan Soekarno agar jangan mengumumkan perintah dalam bentuk tulisan yang ditandatangani, cukup secara lisan saja karena khawatir dimanipulasi.

"Subandrio sarankan lebih baik jangan berbentuk tulisan atau tanda tangan, karena ini bisa dimanipulasi, ternyata kekhawatirannya benar," ulasnya.

Baca Juga: Jasa Marga Lanjutkan Pekerjaan Kontruksi, Waspadai Kemacetan di Tol Jakarta Cikampek

Hingga hari ini, Bedjo merasa Supersemar sebagai hal besar yang merubah hidup dia dan para mantan Tapol dan kawan-kawan korban 65 lainnya. Pasalnya, ia menjadi seorang tahanan politik (Tapol) sejak tahun 1971 di Inrehab Sub RTC Salemba di Kota Tangerang yang sesungguhnya adalah Kamp Konsentrasi Kerja Paksa. Saat itu dirinya merupakan salah satu anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) yang oleh rezim Orba dianggap underbouw PKI.

Bedjo yang berasal dari Pemalang, Jawa Tengah mengaku, dirinya terlebih dulu diinterogasi oleh Intel Kodam V Jaya Kalong di Jakarta pada tahun 1970 yang kemudian dipindahkan ke RTC Salemba. Setelahnya, ia dipindahkan ke Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Sub-RTC Salemba di Tangerang pada tahun 1971.

"Tanpa pengadilan, saya ditahan. Awalnya saya ditempatkan di Rutan Salemba, karena penuh, saya dipindahkan ke Inrehab Sub-RTC Salemba di Tangerang," terangnya.

Bedjo memperkirakan, terdapat 6.000 orang tapol termasuk dirinya. Selama masa penahanannya, ia beserta korban lainnya dipekerjakan secara paksa oleh militer dan diperlakukan dengan tidak manusiawi.

"Saya yang tahu presis, saya berada di Tangerang sejak tahuh 1971 sampai 1979, sebagai tapol untuk kerja paksa di wilayah ini," ujarnya.

Lanjut Bedjo, ia mengulas dan lokasi persis di mana ia dan kawan-kawannya dipekerjakan secara paksa. Ia menyebutkan, lahan di sebelah Taman Gajah Tunggal, Kota Tangerang dan Mal Tangcity merupakan tempat situs kerja paksa para korban tragedi 1965.

Baca Juga: 10 Daftar Makanan Terbaik dan Sehat untuk Dikonsumsi Oleh Para Wanita

"Di sebelah Taman Gajah namanya Areal 1 seluas 60 Hektar. Selebihnya ada areal yang sekarang berdiri Mal Tangcity itu Areal 2, luasnya 55 Hektar. Totalnya jadi 115 Hektar," terangnya.

Dalam konsep kerja paksa, Bedjo dan tapol lainnya dipaksa mengelola pertanian dan peternakan di Tangerang, tentunya dibawah kepengawasan militer saat itu.

"Ada yang nanam padi, nanam jagung, ketela, sekaligus peternakan ayam, ikan, kerbau, kemudian kambing,” paparnya.

Namun sayang, semua hasil kerja tapol dikuasai oleh militer. Tak ada satu butir beras atau hasil perkebunan dan peternakan dapat dinikmati oleh Bedjo dan kawanan lainnya. Terlebih ia menyebut jika uang yang diberikan untuk konsumsi mereka turut dikorup oleh pengurus kamp tahanan.

“Semua hasil kerja dari tapol, itu dikuasai oleh tentara," sebutnya. "Itu semua dikorup sama tentara, saya masih ingat, saat pertama kali saya masuk, paginya, kami cuma dapat bubur; itu hanya air saja; mirip seperti air tajin [air rendaman beras]," sesalnya.

Akhirnya, demi melangsungkan agenda bertahan hidup, Bedjo dan tapol lainnya terpaksa menyelamatkan asupan protein dengan makanan-makanan yang tidak layak untuk dikonsumsi orang kebanyakan.

Baca Juga: Penjelasan Kemendikbud Terkait Kebijakan Afirmasi dan Poin Bonus Ujian Seleksi ASN PPPK

"Karena kekurangan makanan, seringkali tapol memanfaatkan hewan lain misal ular, cindhil [anak tikus], dan keong racun. Kami nyari di pematang-pematang gitu, kami malah jadi lebih kuat setelah itu," paparnya.

Kini Bedjo dan tapol lainnya telah dibebaskan sejak tahun 1979 karena ada tekanan dari Amnesty Internasional, Komite Palang Merah Internasional (ICRC), dan masyarakat pro-demokrasi dan hak asasi manusia internasional. Namun, pembebasan itu masih membuat mereka seperti berada di penjara. Pasalnya, mereka masih sering didatangi intel guna memantau pergerakan politik.

Hingga saat ini Bedjo masih menjabat sebagai Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/66 yang merupakan organisasi korban tragedi 65.

Tentunya, Bedjo dan YPKP 1965/66 masih terus melakukan advokasi terhadap korban tragedi 65 di seluruh Indonesia seperti, menuntut hak memperoleh kebenaran, keadilan dan reparasi, serta rehabilitasi.

Editor: Putri Amaliana


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah