Pengamat Sebut Pemerintah RI Tidak Mengedepankan Sains dalam Penanganan Kasus Covid-19

- 7 Agustus 2021, 18:01 WIB
Sejumlah tenaga kesehatan berjalan menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta
Sejumlah tenaga kesehatan berjalan menuju ruang perawatan pasien COVID-19 di Rumah Sakit Darurat (RSD) COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta /Antara Foto/M Risyal Hidayat/

MEDIA JABODETABEK - Masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 secara resmi belum berakhir dan kemungkinan bisa diperpanjang. Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), banyak upaya-upaya penenganan pandemi yang justru dinilai tidak serius oleh sejumlah pihak.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan, PPKM Level 4 diberlakukan dengan durasi hingga tanggal 9 Agustus 2021.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Leo Agustino mengatakan, pemerintah pusat harus menerapkan tata kelola yang lebih serius sebagai upaya tanggap darurat Covid-19.

Baca Juga: Update Kasus Covid-19 Indonesia Per Jumat, 6 Agustus 2021: Sembuh 48.823, Meninggal 1.881

"Sejak awal pandemi di tahun 2020, pemerintah cenderung tidak serius dalam menangani pandemi. Justru keinginan pemerintah terbilang cukup tegas pada saat kasus Covid-19 tinggi. Jelas perlu ada tata kelola yang baik," katanya saat lewat sambungan telepon pada Sabtu, 7 Agustus 2021.

Pengamat sekaligus Evaluator Wisma Atlet ini juga menilai, sistem informasi mengenai pandemi juga terbilang kurang baik, bahkan tidak terintegrasi. Ia menilai, pihak yang berwenang cenderung menyepelekan hal pendataan, khususnya dalam pelaksanaan Testing, Tracing dan Treatment (3T).

"Dari hal remeh saja tidak tertata rapih, ini berkaitan dengan 3T. Jadi, ini terkait dengan bantuan. Jadi kita harusnya mengetahui dari big data agar nantinya tidak kelimpungan dalam menelusuri data kasus Covid-19," ungkapnya.

Baca Juga: Tips Nabung dan Investasi Bagi Pemilik Gaji Rp3 Juta Lengkap dengan Contoh Perhituangannya

Mediajabodetabek.com menelusuri dari berbagai sumber dan perkembangan di lapangan. Pada tataran grassroot, ada banyak masyarakat yang memilih untuk tidak melaksanakan 3T saat mengalami gejala terkait.

Leo mengatakan, pola komunikasi publik yang buruk antara masyarakat dan pemerintah setempat kerap kali terjadi, bahkan informasi mengenai tanggap darurat Covid-19 sulit sampai.

"Dalam kasus mikro, pemerintah telah sampai ke sana. Sosialisasi jadi masalah. Beberapa pantauan saya, mereka (Puskesmas) tidak melakukan sosialisasi. Menyelesaikan masalah ini harus dari hulunya, bukan hilirnya," paparnya.

Baca Juga: Tanganya Cedera Hingga Diperban, Isyana Sarasvati Kena Mental Break Down: Nanti Bermusiknya Gimana?

Dalam hal ini, ia juga mengatakan bahwa pelanggaran protokol kesehatan (prokes) dilanggar oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali agamawan yang sebagian besar menjadi patron di lingkungan sosial.

"Informasi yang membingungkan sering muncul, bahkan masyarakat di semua kalangan juga ada yang patuh maupun tidak. Tapi juga ada kelompok agamawan yang menganggap vaksinasi tidak perlu. Mereka bisa diajak berdialog secara logis," terangnya.

Mengenai informasi yang sering muncul dari berbagai sisi, ia menyarankan pemerintah pusat agar tidak bersuara lebih, dalam hal ini untuk menanggapi kasus di tingkatan daerah.

Baca Juga: Vaksinasi Jawa Tengah Baru Capai 19%, Ganjar Pranowo: Saya Minta Lansia di Prioritaskan

"Jangan terlalu banyak suara dari atas. Jangan bikin masyarakat menjadi antipati. Hemat saya, untuk pengelolaan harus dibikin satu simpul agar tidak berantakan seperti ini, khususnya mengenai informasi dan penanganan," tegasnya.

"Warga disuguhkan informasi yang keliru. Sarusnya, tinggi dan rendahnya tes bukan dari inisiatif pemerintah, melainkan dari warga. Bahkan, Satgas Covid-19 pun sepemantauan saya tidak ada yang keliling," katanya menambahkan.

Mengevaluasi apa yang dilaksanakan pemerintah dalam menanggapi pandemi di pertengahan tahun 2020, Leo menyebut bahwa pemerintah dalam hal ini tidak melakukan pendekatan sains.

Baca Juga: [BREAKING NEWS] Gempa Berkekuatan 5,5 Magnitudo Guncang Sebagian Wilayah di Sekitar Selat Sunda

Selain itu, banyaknya suara dan gagasan yang muncul dari tataran atas juga ikut menyumbang kebingungan di tengah publik. Terlebih, Leo menyebut bahwa penanganan yang dilakukan cenderung abai dari protokol Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Hal-hal tersebut ia yakini sebagai salah satu pemicu menurunnya public trust atau kepercayaan masyarakat. Terlebih, ia mengatakan bahwa pemerintah justru menempatkan sejumlah orang yang tidak memiliki latar belakang dan portofolio lebih dalam menangani urusan kesehatan untuk menangani pandemi.

"Persoalan anti sains, kita tidak mendasarkan atas kajian penelitian. Selain itu, kita mengeluarkan produk vaksin Nusantara dan Merah Putih, itu juga menurunkan public trust. Kemudian genose, sejumlah epidemiolog juga menyebut ini sebagai kesalahan. Kita menempatkan ahlinya untuk menangani pandemi, lagi-lagi militer," ujarnya.

Baca Juga: Lokasi Layanan SIM Keliling Jabodetabek Hari Ini, Sabtu 07 Agustus 2021: Samling Jakarta Tidak Ada Pelayanan

Dalam penelitiannya, Leo mengatakan bahwa pemerintah juga kurang memperhatikan kesejahteraan tenaga kesehatan (nakes). Bahkan, ia juga mengungkapkan jika jajaran mahasiswa koas turut ikut "menjadi martir" dalam menangani pasien Covid-19.

"Banyak dari jajaran nakes yang hingga saat ini belum dibayarkan honorarium. Itu saja sebagai bentuk apresiasi terendah kita. Terlebih, kita juga enggak bisa menempatkan orang-orang koas sebagai martir. Jadi, hulunya yang dibereskan," tandasnya.***

Editor: Eria Winda Wahdania


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini