Adi menuturkan, bahwa perusahaan produsen rokok yang berupaya untuk menekan marginnya agar dapat menjual produknya di bawah harga banderol.
Baca Juga: Wakil Gubernur Bali, di Bulan Juli Bali Bersiap Buka Pariwisata
"Faktanya perusahaan menekan HTP agar di bawah 85 persen, dampaknya itu terhadap margin tenaga kerja, price predatory, dan prevalensi perokok," kata Adi.
Terjangkaunya harga rokok membuat upaya menurunkan prevalensi merokok anak menjadi tidak optimal.
Baca Juga: Menuju Pelaminan, Atta dan Aurel diiringi Tarian Gelombang Dari Sumatera, Simak Disini!
Berdasarkan Data yang di himpun dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi orang yang merokok berkisar pada usia 10-18 tahun naik sebesar 1,9 persen dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
"Kita sangat prihatin selama satu tahun pandemi COVID-19 ini, belum terlihat penguatan pengendalian rokoknya," ujar Hasbullah.
Baca Juga: Starter dan Line UP Bayern Munchen Vs Leipzig, Choupo-Moting Gantikan Peran Robert Lewandowski
Hasbullah mengajak kepada konsumen untuk lebih cerdas agar tidak membelanjakan uangnya untuk produk yang desktruktif seperti rokok.
Dia menyoroti pengendalian tembakau juga sulit terjadi karena adanya pelanggaran harga dalam penjualan rokok di pasar sehingga masyarakat makin mudah membeli rokok.
Artikel Rekomendasi