International Women's Day 2021, Kekerasan Seksual Masih Jadi Penyakit Serius di Indonesia

- 8 Maret 2021, 16:46 WIB
Kelompok Aliansi Perempuan Lampung gelar aksi long march untuk memperingati International Women's Day
Kelompok Aliansi Perempuan Lampung gelar aksi long march untuk memperingati International Women's Day /Dian Hadiyatna/Antara

MEDIA JABODETABEK - 8 Maret 2021, seluruh dunia tengah merayakan Hari Perempuan International atau yang dikenal sebagai International Women's Day (IWD). Sebagai sebuah momentum sakral bagi kaum perempuan di seluruh penjuru dunia, di mana muncul sebuah gejolak terkait isu kesetaraan gender.

IWD bermula dari aksi massa yang berlangsung pada 8 Maret 1909 di Amerika Serikat (AS). Momentum tersebut dirintis oleh para kaum sosialis di negara tersebut yang sedang menjunjung hak-hak perempuan.

Temma Kaplan melalui tulisannya On The Socialist Origins of International Women’s Day yang dimuat pada Feminist Studies (1985) mengatakan, IWD bermula sejak 8 Maret 1875 di mana adanya protes terkait politik upah rendah dan diskriminasi di sebuah pabrik tekstil di AS.

Baca Juga: Segera Cek! ini 9 Tanya Jawab Seputar Bansos DKI Tahap 2 Oleh Pemprov DKI Jakarta

“Terjadi protes dari buruh perempuan yang bekerja di pabrik tekstil di New York. Tindakan semena-mena dan upah rendah menjadi alasan aksi tersebut. Namun, belum ada dampak lanjutan yang signifikan setelah unjuk rasa itu,” tulis Kaplan.

Dilansir dari laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), WomenWatch: IWD, ditetapkan sebagai hari untuk memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai perwujudan perdamaian dunia pada 8 Maret 1977.

Meningkatnya Angka Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia Selama Tahun 2020

Namun, hal tersebut justru berbalik untuk Indonesia. Komnas Perempuan dalam catatan tahunan (Catahu) mencatat, di tahun 2020 terdapat kenaikan angka sebesar 6 persen atas tindak kekerasan terhadap perempuan.

Baca Juga: Tempat Wisata Religi yang Bisa Masuk ke Wishlist Destinasi Kalian

Komnas Perempuan juga mencatat, selama tahun 2020, terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang tergolong ekstrim seperti, peningkatan angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat tanpa adanya pengaruh dari pandemi Covid-19. Perbandingannya adalah dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020.

Selain perkawinan anak, juga terdapat peningkatan kasus kekerasan berbasis gender siber (KBGS) yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan dengan jumlah 241 kasus pada tahun 2019, dan naik menjadi 940 kasus di tahun 2020.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga melaporkan pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, dan meningkat menjadi 510 kasus di tahun 2020.

Baca Juga: Kim Ji Young: Born 1982, Film untuk Merayakan International Women’s Day

Di lain hal, Komnas Perempuan melaporkan jika terdapat penurunan angka terhadap kasus inses. Semula berjumlah 822 kasus pada tahun 2019, secara signifikan menurun jadi 215 kasus.

Masyarakat Patriarkal Indonesia

Di sisi lain, budaya patriarki justru dikatakan masih mengakar di Indonesia. Hal tersebut hingga kini masih menjadi konsenterasi bagi kaum perempuan dalam menjalani kehidupan di negara dengan masyarakat yang 'masih' patriarkal dan patrilinear.

Bressler dan Charles E. dalam Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice (2007) menerangkan, patriarki sendiri adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti.

Baca Juga: Isra Miraj, Berikut Kumpulan Kata-Kata Ucapan Memperingati Isra Mi'raj 27 Rajab 144 H 11 Maret 2021

Pendiri PurpleCode Collective Dhyta Caturani menyebut patriarki di Indonesia masih tergolong kuat. Ia mengatakan jika laki-laki masih menempati posisi-posisi tertingi atau hak-hak khusus pada semua lini kehidupan.

"Tatanan keluarga masih menempatkan laki-laki dengan privilege yang paling tinggi, sebagai pemimpin, sebagai pengambil keputusan, sebagai tulang punggung keluarga, sampai ke tingkat pemerintahan," ujarnya saat dihubungi Media Jabodetabek pada Senin, 8 Maret 2021.

Aktivis kaum puan ini menilai, lini pemerintahan di Indonesia masih salah satu yang buruk dalam menempatkan posisi pada kaum perempuan sebagai dampak diskriminasi terhadap mereka.

Baca Juga: Apa Saja Salat yang Boleh Dijamak, Berikut Ini Niat dan Tata Cara Melaksanakan Salat Jamak

"Pemerintahan kita ini, melihat komposisi gender, itu masih salah satu yang paling buruk dalam posisi-posisi power ini," sebutnya. "Ini pun juga memberi dampak yang cukup hebat terhadap kehidupan perempuan secara keseluruhan, diskriminasi terjadi dimana-mana, kekerasa juga masih terjadi dimana-mana," jelasnya.

Namun, Dhyta mengatakan, bentuk diskriminasi terhadap perempuan justru muncul dari ketiadaan aturan atau payung hukum khusus untuk mereka. Hal itu yang membuat dirinya dengan tegas menyebut patriarki masih membudaya di Indonesia.

"Ketika itu terjadi, tidak ada perlindungannya, baik dari masyarakat maupun dari pemerintahan. Patriarki masih sangat kental dan mengakar di Indonesia," sesalnya.

Baca Juga: Mutiara Adiguna Viral Usai Gelar Pernikahan Bertema K-Pop

Permasalahan terkait diskriminasi terhadap kaum perempuan di Indonesia, pastinya tidak jauh dengan polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) pada tahun 2019. Dhyta sangat menyesali jika pemerintah sama sekali tidak mendukung pengesahan aturan perlindungan hukum tersebut.

"Aku berani bilang kalau secara langsung memang ada pembiaran oleh pemerintah," sebutnya. "Bagaimana pun juga tugas negara itu adalah melindungi semua warga negaranya, termasuk dari kasus kejahatan kekerasan seksual." ujarnya.

Mangkraknya RUU-PKS, lanjut Dhyta, terdapat tiga hal yang menurutnya menjadi dampak dari adanya pembiaran oleh pemerintah. Ia mengkonsenterasikannya pada bentuk-bentuk kekerasan seksual dan perlindungan yang selama ini didapatkan oleh para pelaku.

Baca Juga: PLN Karawang Kembali Tergenang Banjir, 3.806 Rumah Mati Lampu

"Pertama, dari tahun ke tahun jumlahnya makin meningkat. Karena memang tidak pernah ada sanksi yang adil kepada para pelaku kekerasan seksual yang bisa memberikan efek jera bagi para pelaku dan calon pelaku. Kedua, pemerintah membiarkan terjadinya ketidakamanan dan ketidakselamatan bagi warganya terkait dengan kasus kekerasan seksual. Ketiga, ketiadaan RUU-PKS ini, sebagian warga negara ditempatkan pada situasi yang tidak aman, kekerasan seksual itu menimbulkan dampak yang luar biasa, yang bisa menghancurkan kehidupan korban," paparnya.

Lebih lanjut, Dhyta menyebut jika pemerintah melakukan pembiaran terhadap penderitaan, trauma seumur hidup yang dialami korban kekerasan seksual.

Guna menanggulangi tindakan diskriminasi berbasis gender dan naiknya angka kekerasan seksual, Dhyta berasumsi jika pendidikan seks dalam konteks ilmiah harus diadakan sejak dini yang tentunya tidak ada asupan-asupan dogmatis. Namun, ia menganggap pemerintah tidak terkonsenterasi pada hal-hal yang bersifat urgensi ini.

Baca Juga: Kaesang Pangarep Buka Suara Usai Ibu Felicia Tissue Ungkap Kekecewaan dan Singgung Orang Ketiga

Mengulas pengalaman yang Dhyta dapat selama di bangku sekolah, ia mengaku bahwa dirinya pernah mendapatkan pendidikan seks, namun dalam bentuk yang sifatnya moralis dengan disertai gambaran ketakutan akan dogma.

"Pendidikan seks dan gender ini harus benar-benar dilakukan secara komperhensif yang berbasiskan informasi dan fakta yang benar, bukan pendidikan seks dan gender yang berbasiskan ketakutan yang seringkali didasari moral," ujarnya. "Namun pendidikan seks yang ada justru malah berbasiskan moral dan ketakutan atau fearbase, misal 'kamu jangan melakukan ini, karena kalau kamu melakukan, kamu akan berdosa dan bisa masuk neraka'. Itu tidak memberikan informasi apapun," sambungnya.

Pendidikan seks dan gender secara moralis, lanjut Dhyta, tidak mempersiapkan masyarakat menghadapi hal-hal terburuk apabila tidak memiliki pengetahuan terkait seks dan gender.

Baca Juga: MotoGp 2021 Segera Bergulir, Apa Kabar Marc Marquez?

Menampik kekeliruan terkait anggapan pendidikan seks dan gender di masyarakat yang 'katanya' mengajarkan tentang 'berhubungan seks', Dhyta menegaskan bahwa kajian tersebut tidaklah mengajarkan hal terkait.

Menurut Dhyta, pendidikan seks dan gender yang holistik dan sesuai fakta ini justru mengajarkan seseorang untuk mengetahui diri, seksualitas dan gendernya secara lebih dalam dan komperhensif. Lebih lanjut, ia menambahkan jika pendidikan ini nantinya akan mengajarkan terkait otoritas tubuh dan batasan-batasan terkait zona-zona personal orang lain yang tidak boleh dilanggar, serta pengetahuan ini harus diketahui sejak usia dini.

"Jadi, edukasi seks dan gender yang berbasiskan informasi dan fakta ilmiah bisa memberikan kemampuan pada anak-anak sejak dini, untuk mengenali dirinya dan tubuhnya dengan mengetahui semua konsekuensinya tentang baik dan buruknya terkait apa yang bisa dilakukan," jelasnya. "Kemudian batasan dan zona personalnya, maka ia juga belajar untuk tidak melanggar," tambahnya.

Baca Juga: 10 Kutipan dari Perempuan Hebat untuk Merayakan International Women’s Day

RUU-PKS yang 'harusnya' menjadi konsenterasi pemerintah terhadap kekerasan seksual berbasis gender, di tahun 2019 justru menjadi polemik terkait kabarnya yang tidak membuahi keputusan 'sah'. Namun, dalam Prolegnas tahun 2020 Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI), RUU tersebut justru dicabut karena akan diganti dengan RUU Kesejahteraan Lanjut Usia.***

Editor: Ricky Setiawan


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini