Tak Ada Hari Kartini Ketika Era Orde Baru , Kok Bisa ?

21 April 2021, 09:20 WIB
Ilustrasi RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang /Instagram @hijabindokece/

MEDIA JABODETABEK - Hari Kartini merupakan sebuah peringatan kebangkitan atau emansipasi perempuan di Indonesia.

Peringatan tersebut jatuh bertepatan dengan hari lahir Raden Adjeng Kartini pada 21 April 1979 di Rembang.

Kartini dikenal sebagai salah satu tokoh feminis dan nasionalis yang memperjuangkan hak-hak perempuan.

Baca Juga: Trailer dan Sinopsis Fast & Furious 9, Orang Dari Masa Lalu Ancam Kehidupan Dom

Pada tanggal 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai pahlawan lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964.

Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (2003) mengungkapkan, sang putri priayi itu merupakan intelektual yang akan membawa kaum pribumi ke masa depan cerah, terang benderang.

"Dengan intelektualitas Eropa itulah, rimba-belantara yang gelap-gulita itu akan menjadi padang luas yang terang-benderang bagi setiap orang,” ungkapnya dikutip Mediajabodetabek.com dari halaman 53 Novel 'Panggil Aku Kartini Saja' pada Rabu, 21 April 2021.

Baca Juga: Tuai Pro dan Kontra, Manchester City Mengundurkan Diri dari Eropa Super League

Dari situ, Pram menilai bahwa “…di sanalah (Eropa) Kartini akan dapatkan segala alat yang diharapkannya dapat dikuasainya buat negeri dan rakyatnya kelak,” cetusnya.

Meski demikian, peringatan Hari Kartini selalu dipenuhi dengan acara-acara seremonial dan festival saja, di mana anak perempuan memakai kebaya, sedangkat yang laki-laki memakai beskap atau pakaian adat lainnya.

Namun, mengapa demikian Hari Kartini dirayakan lewat seremonial saja?

Baca Juga: Viral! Seorang Pria Melakukan Pelcehan Dengan Memegang Bokong Wanita yang Sedang Shalat

Hari Kartini di Masa Orde Baru

Lewat penganugerahan gelar pahlawan pada Kartini, Presiden Soekarno memilihnya sebagai wujud perempuan pribumi progresif.

Sejarawan Joost Cotè dalam Kartini: The Complete Writings, 1898–1904 (2014) menerangkan, Kartini merupakan salah satu tokoh perempuan penting dalam penumpasan kolonialisme Belanda di Indonesia.

"Dalam konteks kolonial Jawa, visi Kartini tentang perempuan baru sebagai pendidik sosial, pengasuh generasi baru yang tercerahkan, tidak hanya meresmikan transformasi radikal, peran perempuan tradisional tetapi juga membangun nasionalis dan politik yang signifikan," tulisnya.

Baca Juga: 5 Keutamaan dan Kejaiaban Mebaca Istighfar Selama Menjalani Ibadah Pusa Ramadhan

Namun, saat Soeharto memimpin kudeta yang menggulingkan Presiden Soekarno lewat Gestok 1965, peringatan Hari Kartini dinilai mengalami pergeseran makna.

Cote menggambarkan, rezim Orde Baru coba mengubah identitas Kartini menjadi seorang putri yang keibuan dan jauh dari kata emansipasi.

Lebih lanjut Cote menegaskan, rezim Orde Baru membangun konstruksi sejarah atas identitas Kartini menjelang akhir hayatnya. Seakan sang emansipatoris mengajak perempuan Indonesia menyerah pada kodrat, seperti menikah.

Baca Juga: Yuk Ikut Cara Asri Welas Hindari ‘Food Waste’

Hal tersebut juga ditegaskan oleh Chilla Bulbeck dalam Sex, love and feminism in the Asia Pacific: a cross-cultural study of young people's attitudes (2009). Ia menjelaskan bahwa Kartini merupakan gambaran perempuan dalam sudut pandang feodal.

"Setelah tahun 1965, bagaimanapun, Orde Baru telah mengatur ulang citra Kartini dari yang pembebas, perempuan radikal untuk satu yang digambarkan sebagai seorang istri yang berbakti dan anak patuh, karena hanya seorang wanita mengenakan kebaya yang bisa memasak," terangnya.

Namun, sebagian pihak tetap menilai Kartini merupakan salah satu penggagas gerakan feminis di Indonesia selain Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Martha Christina Tiahahu, dan Nyi Ageng Serang.***

Editor: Ricky Setiawan

Tags

Terkini

Terpopuler