Dosa-Dosa Soeharto Kepada Warga Peranakan Tionghoa Indonesia

8 Juni 2021, 17:36 WIB
Presiden Kedua RI Soeharto /

MEDIA JABODETABEK - Satu abad silam, Presiden kedua RI sekaligus diktator sepanjang sejarah pemerintahan sebuah rezim di Indonesia, Soeharto yang ke-100.

Pemrakarsa Orde Baru (Orba) itu lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada 8 Juni 2021.

Sejumlah pihak menyebut Soeharto sebagai bapak pembangunan, namun sebagian lainnya justru mengenangnya dalam memori berdarah.

Baca Juga: Siap Berantas Ujaran Kebencian, Facebook Pekerjakan 35.000 Orang sebagai Tim Kebijakan Konten

Pasca hari pembantaian kaum komunis dan revolusioner sejagat Indonesia atau biasa dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S) 1965. Hingga tahun 1966 terjadi banyak peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, penghilangan paksa, kerja paksa, dan pemenjaraan tanpa pengadilan.

Banyak dari para korban adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan underbouw-nya, simpatisan Presiden Soekarno, serta siapapun yang mendapati tuduhan sebagai anggota PKI.

Tak hanya kaum kiri, hal tersebut juga menimpa etnis Tionghoa Indonesia yang saat itu dinilai mengalami kekerasan budaya secara ofensif.

Baca Juga: Dibintangi Jang Hyuk, Ini Sinopsis Film Action The Child Who Deserves to Die yang Mulai Syuting Bulan Ini

Rezim Orba juga menilai bahwa kaum Tionghoa saat itu dianggap terafiliasi dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Bahkan, rezim tersebut kerap kali mengkait-kaitkan keterlibatan Mao Tse Tung (Mao Zedong) dengan peristiwa G30S.

Kala itu, Soeharto sempat melarang warga etnis Tionghoa menampilkan identitas kebudayaannya, seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya. Bahkan ritual keagamaan Konghucu juga tak lepas dari larangannya.

"Kalau sembahyang kami tetap jalankan, biasanya ya di rumah masing-masing. Perayaan Imlek saat itu kami lakukan dengan sangat sederhana. Yang pasti tidak ada mercon dan barongsai,” kata Oey Tjing Eng, salah seorang sesepuh masyarakat Tionghoa Tangerang dikutip dari catatan awak Mediajabodetabek.com pada Selasa, 8 Juni 2021.

Baca Juga: Usai Jalani Hiatus Militer Selama 5 Tahun, 2 PM Comeback dengan Lagu Baru Bulan Ini

Upaya-upaya diskriminatif itu berlanjut pada sebuah ketetapan presiden. Melalui Inpres Nomor 14 tahun 1967, rezim Orba mulai mempribumisasi orang-orang peranakan Tionghoa Indonesia.

"Kami, pejabat Presiden Republik Indonesia menimbang: bahwa agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis," kata Soeharto dalam Inpres Republik Indonesia nomor 14 tahun 1967 tanggal 6 Desember 1967 (Inpres Nomor 14 tahun 1967)

"Mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditempatkan fungsinya pada proporsi yang wajar," imbuhnya.

Baca Juga: Sedang Populer, Ini Lirik Lagu Dun Dun Dance dari Oh My Girl

Menurut Siew-Min Sai & Chang-Yau Hoon dalam Chinese Indonesians Reassessed (2012), sebelum Inpres nomor 14 tahun 1967 dikeluarkan, pemerintah Orba bahkan ingin agar tidak ada lagi sebutan Tionghoa bagi orang-orang Cina dan kebudayaan mereka.

Perihal itu juga dipertegas dengan adanya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 tanggal 28 Juni 1967 dituliskan keluhan pemerintah Orba.

"Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah 'Tionghoa/Tiongkok' di samping istilah 'Cina' yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi," keluh rezim Orba.

Sementara itu, nama-nama mereka juga turut dirubahnya bak pribumisasi. Menurut Suharyo dalam Pola Nama Masyarakat Keturunan Tionghoa (2013), dikatakan bahwa nama asli mereka telah dipoles dengan nama Indonesia.

Baca Juga: Elsa Pelaku yang Membunuh Roy ? Simak Trailer Terbaru Ikatan Cinta Malam Ini 8 Juni 2021 Episode 307

Suharyo mencatat, penggantian nama Tionghoa menjadi Indonesia sebenarnya bukan sesuatu yang bersifat sengaja. Namun, untuk mendapatkan pekerjaan atau membaur agar memiliki kesan sebagai "pribumi asi" Indonesia.

Tatkala menghindari isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA), lanjut Suharyo, serta kebiasaan di masa Orba. Menurutnya, masih sedikit warga keturunan Tionghoa yang mau mencantumkan nama asli mereka.

Ia menegaskan, kebiasaan Orba ini merujuk pada peristiwa 1965. Orang Tionghoa yang tak berganti nama cenderung dikait-kaitkan sebagai PKI dan berafiliasi dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT).

Perlu diketahui, kala itu Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Tiongkok pasca G30S. Banyak dari peranakan Tionghoa mengganti nama aslinya atas dasar pembuktian nasionalisme.

Baca Juga: Sinopsis Lengkap Sweet and Sour, Film Romantis Terbaru yang Dibintangi Jang Ki Yong, Krystal dan Chae Soo Bin

Namun, hal tersebut sudah sirna kala Presiden kedua RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memberikan peluang hak berwarga negara bagi peranakan Tionghoa di Indonesia.

Pada 17 Januari 2000, Gus Dur melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 tahun 2000 telah mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967. Warga peranakan Tiongoa dapat dengan bebas menunjukkan identitas kebudayaan, menjalankan ritual keagamaan, serta dapat menggunakan nama asli mereka.***

Editor: Putri Amaliana

Tags

Terkini

Terpopuler