Dandhy juga menuliskan bahwa pernyataan sikap terhadap alkohol juga muncul dari pedalaman Merauke.
Ia menyebut tokoh-tokoh gereja juga turut mengkhawatirkan dampaknya terhadap penguasaan tanah.
Baca Juga: Sabun dan Batu Menjadi Menu Makanan di Restoran Namaaz Dining yang Berada di Jakarta Selatan
Salah satu yang ia kutip yakni percakapannya dengan seorang pastor di Muting, Nico Rumbayan.
"Mereka yang suka mabuk akan berusaha mendapatkan uang. Kalau uang sudah habis, lalu tergoda menjual tanah ke perusahaan (kelapa sawit)," ungkap Nico.
Filep (2014) dalam Seakan Kitorang Setengah Binatang juga menuliskan ulasan terkait bibinya A. Rumpaisum yang juga merupakan anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP). Ia mengatakan jika bibinya sering didoktrin oleh perwira militer.
Kadang-kadang pada malam hari, bibinya diajak jalan-jalan dan ditraktir minum bir sepuasnya, sambil terus didoktrin dan diawasi gerak-geriknya.
Selain itu, tambah Filep, saat Pepera 1969 dilaksanakan, bibinya diancam, kalau memilih opsi Papua Merdeka, maka mulutnya akan disobek dan keluarganya akan dibunuh.
Mengutip hasil percakapan yang pernah berlangsung antara penulis Mediajabodetabek.com dengan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap pada 1 Desember 2019, ia turut berasumsi jika minuman keras merupakan bentuk penindasan terhadap rakyat Papua yang dilangsungkan secara tidak langsung oleh Indonesia. Menurutnya hal tersebut merupakan stigmatisasi terhadap rakyat Papua.
Artikel Rekomendasi