Sajak Ibunda: Syair Kritis W.S. Rendra untuk Pembangunan TMII

8 April 2021, 18:39 WIB
Sejarah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) /Instagram.com/@tmiiofficial/

MEDIA JABODETABEK - Bagi sebagian orang, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan tempat nostalgia masa kecil.

Namun, sejak kemarin TMII telah diambil alih oleh Pemerintah RI melalui Perpres Nomor 19 Tahun 2021 tentang TMII akan mengatur penguasaan dan pengeloaan lewat Kementerian Sekertari Negara (Kemensetneg).

Sebelumnya, TMII dikelola oleh Yayasan Harapan Kita milik keluarga Cendana pada saat era Orde Baru (Orba).

Baca Juga: Porang Tanaman yang Dianggap Hama Ternyata Bisa Hasilkan Ratusan Juta

TMII digagas pada 13 Maret 1970 oleh Ibu Negara Siti Hartinah atau yang akrab disapa Ibu Tien Soeharto dalam konsep Miniatur Indonesia Indah (MII).

Bangunan seluas 150 hektar itu diresmikan pada tanggal 20 April 1975 dengan berisikan miniatur yang menyerupai 33 Provinsi Indonesia (saat itu) dan identitas kebudayaan masing-masing daerah.

Meski demikian, banyak pihak yang terdiri golongan mahasiswa dan sastrawan melakukan penolakan atas pembangunannya pada periode 1977.

Baca Juga: Terjadi Kebakaran di Pasar Kambing Tanah Abang Sore Hari ini, Kamis 8 April 2021

Dalam gerakan yang dipimpin oleh Arief Budiman, muncul salah seorang sastrawan yang dengan lantangnya mengkritik pembangunan TMII lewat sebuah karya satra, ialah Willibrordus Surendra Broto Rendra

Sastrawan yang akrab dengan sapaan W.S. Rendra ini membacakan sebuah sajak berjudul 'Sajak Ibunda'.

Karya tersebut dengan tajam ditujukan pada pembangunan oleh rezim Orba, yang salah satunya adalah TMII.

Baca Juga: Jangan Salah! Ini Doa Buka Puasa Ramadhan yang Benar Sesuai Dengan Sunnah dan Hadis

Berikut adalah salah satu karya sastra milik Rendra yang merupakan kritik keras terhadap rezim Orba terkait pembangunan TMII:

Sajak Ibunda

(W.S. Rendra, Jakarta 23 Oktober 1977)

Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.

Baca Juga: KPK Melaporkan Pegawainya ke Polisi Terkait Pencurian Barang Bukti Emas 1.9 Kg

Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.

Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?

Baca Juga: Bocoran dan Link Live Streaming Ikatan Cinta 8 April 2021 : Terbongkar! Ricky Ceritakan Elsa Kepada Rafael

Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”

Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?

Baca Juga: Mama Rosa Siapkan Kejutan Buat Andin dan Aldebran, Simak Trailer Terbaru Ikatan Cinta Kamis 8 April 2021

Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.”

Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.***

Editor: Ricky Setiawan

Tags

Terkini

Terpopuler