Pro Kontra Perpres Nomor 10 Tahun 2021, Orang Papua Sebut Alkohol Sebagai Bentuk Penindasan Moril

1 Maret 2021, 20:30 WIB
Ilustrasi syarat terbaru investasi miras: Penanaman modal baru di provinsi tertentu /Steve Buissinne/Pixabay/ @stevepb

MEDIA JABODETABEK - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal pada 2 Februari 2021.

Namun hal tersebut menimbulkan pro-kontra saat Perpres tersebut memasukan minuman beralkohol sebagai salah satu jenis bidang usaha dengan persyaratan khusus.

Banyak pihak yang menolak terkait Perpres Nomor 10 Tahun 2021, bahkan sampai Politisi Papua Natalius Pigai. Dirinya mengutarakan kritiknya melalui akun media sosial Twitternya.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Virus Corona, Polresta Bandara Soetta Gelar Kegiatan 3T Dan Bakti Sosial

"Ada pejabat Negara yang mengaku "Orang Asli Papua" kata Presiden. Dia diduga usul Perpres Miras di wilayah-wilayah Kristen. Apa motifnya? Saya sudah protes karena ragu dengan kapasitasnya sejak awal. Apa anda tidak mampu kerja dan hadirkan investasi yang lebih bermartabat? Kasihan Jokowi tertipu dua kali," tulisnya dalam akun media sosial Twitternya @NataliusPigai2.

Di sisi lain, salah seorang mantan Tahanan Politik (Tapol) Papua Barat Filep Karma menolak budaya alkohol di Papua.

Dikutip dari unggahan akun media sosial Facebook milik Jurnalis Watchdoc Dandhy Dwi Laksono pada tanggal 13 Mei 2017, ia menuliskan perbincangannya dengan Filep tentang alkohol. Disebutkan jika Filep telah berhenti menenggak alkohol.

Baca Juga: Tim Penyidik Kanwil DJP Banten Serahkan Tersangka Tindak Pidana Perpajakan Ke Kejari Tangsel

"Amerika menindas warga Indian dengan alkohol. Begitu juga dengan Australia terhadap warga Aborigin. Saya tidak mau itu terjadi di Papua," ujar Filep dalam percakapannya dengan Dandhy.

Dandhy juga menuliskan bahwa pernyataan sikap terhadap alkohol juga muncul dari pedalaman Merauke.

Ia menyebut tokoh-tokoh gereja juga turut mengkhawatirkan dampaknya terhadap penguasaan tanah.

Baca Juga: Sabun dan Batu Menjadi Menu Makanan di Restoran Namaaz Dining yang Berada di Jakarta Selatan

Salah satu yang ia kutip yakni percakapannya dengan seorang pastor di Muting, Nico Rumbayan.

"Mereka yang suka mabuk akan berusaha mendapatkan uang. Kalau uang sudah habis, lalu tergoda menjual tanah ke perusahaan (kelapa sawit)," ungkap Nico.

Filep (2014) dalam Seakan Kitorang Setengah Binatang juga menuliskan ulasan terkait bibinya A. Rumpaisum yang juga merupakan anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP). Ia mengatakan jika bibinya sering didoktrin oleh perwira militer.

Baca Juga: Kumpulan Kata-kata Bijak Terbaru Awal Bulan Maret 2021, Bisa Buat Status WA atau Caption Untuk Motivasi

Kadang-kadang pada malam hari, bibinya diajak jalan-jalan dan ditraktir minum bir sepuasnya, sambil terus didoktrin dan diawasi gerak-geriknya.

Selain itu, tambah Filep, saat Pepera 1969 dilaksanakan, bibinya diancam, kalau memilih opsi Papua Merdeka, maka mulutnya akan disobek dan keluarganya akan dibunuh.

Mengutip hasil percakapan yang pernah berlangsung antara penulis Mediajabodetabek.com dengan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap pada 1 Desember 2019, ia turut berasumsi jika minuman keras merupakan bentuk penindasan terhadap rakyat Papua yang dilangsungkan secara tidak langsung oleh Indonesia. Menurutnya hal tersebut merupakan stigmatisasi terhadap rakyat Papua.

Baca Juga: Lirik Lagu Weak dari Larissa Lambert yang Viral di TikTok

"Ini penindasan dalam bentuk moril. Orang Papua banyak yang diiming-imingi alkohol oleh Indonesia. Dari situ orang-orang Papua seakan distigma sebagai pemabuk. Itu yang bikin kami seakan terbelakang. Sadar-tidak sadar, banyak dari mereka yang sudah dikondisikan alkohol akhirnya malah malas untuk turut memperjuangkan hak-hak sipil mereka sebagai rakyat Papua," ucap Ones.***

Editor: Ricky Setiawan

Tags

Terkini

Terpopuler