MEDIA JABODETABEK – Ogoh-ogoh berasal dari kata “ogah-ogah” dalam bahasa Bali yang artinya “sesuatu yang digoyang-goyangkan”.
Bagi orang awam, ogoh-ogoh adalah boneka raksasa yang digiring keliling desa pada malam hari sebelum jatuhnya hari raya nyepi (ngerupukan) yang diiringi musik gamelan bali yang dikenal sebagai Bleganjur, kemudian dibakar.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 1986, Ogoh-ogoh adalah ondel-ondel yang beraneka ragam dengan bentuk yang menyeramkan.
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala mewujudkan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terhingga dan tak terbantahkan. Bhuta Kala berwujud raksasa yang menakutkan.
Wujud ogoh-ogoh biasanya digambarkan seperti naga atau gajah. Namun, seiring perkembangan waktu, wujudnya bisa menyerupai para pemimpin dunia, artis, tokoh agama, bahkan penjahat.
Sebenarnya, ogoh-ogoh tidak terkait langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Sejak tahun 1980-an, umat Hindu membawa ogoh-ogoh keliling desa dengan obor atau disebut ngerupuk.
Karena hal ini, ogoh-ogoh boleh dipakai untuk pelengkap kemeriahan upacara meskipun tidak mutlak dihadirkan.
Sebelum pawai, peserta upacara biasanya meminum arak (minuman tradisional). Kemudian mereka mengarak ogoh-ogoh ke suatu tempat bernama sema (tempat persemayaman umat Hindu sebelum dibakar dan pada saat pembakaran mayat). Selanjutnya, ogoh-ogohnya dibakar.
Artikel Rekomendasi