MEDIA JABODETABEK - Organisasi civil society mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar menempatkan kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Munir yang saat itu merupakan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dibunuh pada tanggal 7 September 2004 dengan racun arsenik saat di dalam pesawat saat melakukan penerbangan menuju Amsterdam, Belanda.
Kali ini, kasus tersebut memasuki usianya yang ke-17 tahun. Namun, hingga tahun 2021 negara belum melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai pembunuhan aktivis HAM itu, melainkan baru menindak aktor lapangannya, salah satunya adalah Pilot Pesawat Garuda Pollycarpus Priyanto.
Baca Juga: Masjid Ahmadiyah Dirusak oleh Ratusan Orang di Kalimantan Barat, Polisi Tetapkan 9 Tersangka
Menanggapi perihal itu, Akademisi Hukum Internasional Universitas Parahyangan Dr. Liona Nanang Supriatna menyatakan, kasus pembunuhan Munir sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dan tidak memiliki status kadaluarsa.
"Kasus Munir merupakan extra judicial killing dan tidak mengenal kadaluarsa. Pengadilannya tidak sesuai kaidah peradilan internasional. Bahkan kasus Munir masuk dalam kategori extraordinary crime dan bisa dibawa ke kasus peradilan HAM," ujarnya dalam sebuah webinar Amnesty International Indonesia pada Selasa, 7 September 2021.
Liona beranggapan, kasus yang menimpa Munir juga berdampak buruk bagi kelangsungan HAM di Indonesia. Menurutnya, kasus pembunuhan tersebut menyangkut hak orang banyak.
"Maka harus masuk ke dalam extraordinary crime. Pembunuhannya berdampak bagi seluruh bangsa, tidak hanya untuk keluarganya. Ini bukan ordinary crime," ucapnya menambahkan.
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Jantera Bivitri Susanti mengatakan, kasus pembunuhan Munir harus tuntas. Menurutnya, dapak buruk dapat muncul di lingkaran para pegiat HAM lantaran dianggap mengganggu.
Artikel Rekomendasi