Palestina, Menjadi Salah Satu Negara Arab Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2021, 16:17 WIB
Foto Suasana Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan oleh Bung Karno. Ternyata mesin tik yang dipakai untuk mengetik naskah proklamasi adalah peninggalan Nazi. /IG: Sejarahbangsa/

MEDIA JABODETABEK - Saat ini Indonesia tengah merayakan hari kemerdekaannya yang ke-76. Namun, hari ini momentum tersebut dirayakan dengan sangat berbeda lantaran seluruh dunia masih dirundung pandemi Covid-19.

Sejarah mencatat perjalanan panjang Indonesia menuju kemerdekaan. Secara resmi, Presiden Soekarno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur, Nomor 56, Jakarta Pusat.

Menilik peristiwa tersebut, pengakuan kedaulatan Indonesia juga ikut digaungkan Liga Arab, salah satunya adalah Palestina yang hingga saat ini masih diokupasi negara Zionis Israel.

Baca Juga: Sinetron Ikatan Cinta 17 Agustus 2021 Tetap Tayang, Simak Sinopsis Malam Ini, Elsa Mulai Disidang

Melansir laman Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, negara yang menaungi kota suci bagi umat Islam, Kristen dan Yahudi itu telah mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat pada tahun 1945.

Mufti Agung Yerusalem dan Pemimpin Tertinggi Dewan Palestina Syekh Muhammad Amin al-Husaini adalah salah satu tokoh yang dielu-elukan karena berhasil meningkatkan pengakuan negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, mereka juga sepakat untuk menekan Inggris yang pasukannya telah tiba di Indonesia lebih dulu daripada Belanda, agar tidak mengerahkan dukungan terhadap kolonial.

Baca Juga: Catat! BSU Subsidi Upah 2021 Sebesar Rp1 Juta Hanya Akan Ditransfer ke 5 Bank Berikut ini

Romantisme dalam pengakuan tersebut membuat Soekarno menjadikan Israel sebagai salah satu musuh, terlebih atas dasar dukungan Blok Barat terhadap gerakan Zionis. Pernyataan sikap itu dinilai sebagai bentuk ucap terima kasih Indonesia terhadap rakyat Palestina.

Observe Rid menuliskan, pada tanggal 18 November 1946, al-Husaini menghubungi Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Muhamad Rasjid dengan menegaskan bahwa negara-negara Arab mendukung penuh kemerdekaan Indonesia.

Al-Husaini kemudian mengajak Konsul Jenderal Mesir, Muhammad Abdulmunim Mustapha yang saat itu berada di Bombay untuk terbang dengan jet pribadi untuk bertemu Soekarno pada tanggal 15 Maret 1947.

Baca Juga: Film Komedi Korea Sinkhole Pecah Rekor Box Office Tembus 1 Juta Pejualan Tiket

Di balik pertemuan itu, sepucuk surat cinta yang berisikan dukungan penuh Liga Arab terhadap kedaulatan Indonesia diberikan kepada Soekarno.

Setelah teks proklamasi dibacakan, secara de facto sudah mendapatkan pengakuan internasional, namun secara de jure belum. Pada April 1947, Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim yang juga pemimpin Serikat Islam dikirim dalam misi baik diplomatik ke Jazirah Arab untuk melakukan lobi.

Dua bulan kemudian, tepat pada tanggal 10 Juni 1947, Mesir dan Indonesia menandatangani Perjanjian Persahabatan oleh Perdana Menteri Naqrashi Pasha dan Haji Agus Salim sambil didampingi Rasjid serta Menteri Penerangan Abdurrahman Baswedan.

Baca Juga: Cara Menggunakan Fitur Blue Text yang Bisa Merubah Warna Tulisan WhatsApp

"Dia berjanji kepada Mesir bahwa mereka akan menerima dukungan penuh dari Belanda untuk Palestina di PBB jika saja Mesir mencabut pengakuannya atas kemerdekaan Indonesia," kata Ahmad Ginanjar Sya'ban, dosen Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama dikutip Mediajabodetabek.com dari Independent Observer pada Selasa, 17 Agustus 2021.

Wakil Kepala Misi Kedutaan Besar Palestina di Jakarta Taher Ibrahim Hamad menilai, perihal tersebut terbilang berbahaya. Pasalnya, penandatanganan perjanjian atau Traktat itu mengecewakan konsul Belanda di Kairo. Bahkan mereka juga meminta agar pertemuan dengan Perdana Menteri Mesir ditolak, terlebih harus ada kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Salah satu syarat hadir di PBB adalah suatu negara harus sudah mendapat pengakuan de jure oleh negara lain dalam bentuk perjanjian internasional yang ditandatangani dengan negara tersebut. Traktat tersebut tentu saja sangat mengecewakan pemerintah Belanda tetapi ketika Konsul Belanda di Kairo meminta pertemuan dengan Perdana Menteri Mesir ditolak," jelas Taher.

Baca Juga: Jadwal Siaran SCTV Hari Ini, Saksikan 75th Yuk Indonesia Bisa, Liputan 6 Siang Special HUT RI dan Lainnya

Rizal Sukma dalam Islam in Indonesian Foreign Policy: Domestic Weakness and the Dilemma of Dual Identity (2003) mencatat bahwa jawaban Indonesia ke Timur Tengah tidak dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi politik luar negeri dengan alasan dogmatis (sesama Islam).

"Itu hanya bagian dari strategi diplomatik umum yang dirancang untuk mengamankan pengakuan dan dukungan internasional untuk Republik yang diperangi," tulis Rizal.

Baca Juga: Link Download Twibbon Ucapan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 76 Tahun, Bikin Foto Kamu Jadi Keren

Kembali pada Taher, ia menegaskan bahwa dukungan tersebut bukan karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Bahkan, pihaknya menyatakan simpati besar terhadap kemerdekaan Vietnam.

"Di Palestina, kami tidak berjuang untuk menciptakan negara Islam, tetapi negara untuk Muslim, Kristen, dan Yahudi. Bisa dibilang, negara Pancasila," pungkasnya.***

Editor: Ricky Setiawan

Tags

Terkini

Terpopuler